Pagi ini saya berangkat menuju kantor dengan sedikit terlambat. Tentu saja akibatnya saya harus menghadapi beberapa "efek samping"; armada bus yang belum tiba, jalanan yang lebih macet, dan tidak kebagian tempat duduk di dalam bus. Ketika akhirnya sampai di tempat saya seharusnya turun, saya bergegas sambil mendekap tas. Takut dicopet.
Maklum saja, kebetulan kantor saya terletak di daerah yang tidak begitu elit (saya mencoba mencari padanan kata lain untuk "kumuh"). Biasanya setiap kali turun dari bus umum dan menyeberang ke arah kantor, saya selalu berjalan terburu-buru. Alasannya karena di sepanjang jalan--dari tempat saya turun bis hingga mencapai kantor--yang jaraknya tak sampai satu kilometer itu, berjejerlah pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai hal. Mulai dari gorengan, bakso, rokok, pulsa, peralatan rumah tangga, hingga penjual telepon seluler bekas yang saya yakini memperoleh barangnya dari menadah hasil copetan. Saya harus mempercepat langkah sebelum jengah mendengar celetukan usil dari para pedagang (dan preman-preman) tersebut, "Siang amat neng datengnya?", "Baru ya? Kok belum pernah keliatan?", atau "Sini neng, abang anter aja besok-besok.".
Hari ini pun, saya sudah siap berjalan dengan cepat agar bisa segera melalui jejeran pedagang itu. Namun kali ini ada yang berbeda. Untuk pertama kalinya tidak ada celetukan usil dari para preman dan pedagang kaki lima. Trotoar pun bersih dari aneka dagangan. Tak jauh dari jalan itu, terparkir mobil bak bertuliskan "SATPOL PP". Sementara segerombol petugas berseragam berkumpul tak jauh dari mobil bak mereka.
Sambil meneruskan langkah menuju kantor, saya mencibir dalam hati. Tinggal tunggu waktu hingga para pedagang yang ditertibkan kembali berjejer di jalan depan kantor. Seringkali saya bertanya, untuk apa razia dan penertiban pedagang itu dilakukan. Ketertiban itu sebenarnya diwujudkan atas dasar apa? Kenyamanan masyarakat? Tanggung jawab pekerjaan? Imbauan dari Bapak Gubernur?
Nanti sore atau esok pagi, para pedagang sudah akan kembali lagi. Memadati trotoar tempatku berjalan kaki. Preman-preman juga akan kembali menggodaku. Kemudian satu-satunya dampak dari penertiban sesaat itu hanya membuat para pedagang rugi karena tidak bisa berdagang seperti biasa. Selain itu, paling-paling membuat teman-teman sekantorku mengeluh karena tidak bisa jajan gorengan.
Lalu semua penertiban "pura-pura" itu, untuk siapa?