Film ini terinspirasi dari novel trilogi karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk atau The Dancer dalam versi cetakan berbahasa Inggrisnya. Film ini berlatar belakang kehidupan sebuah desa di Jawa yang bernama Dukuh Paruk dengan Srintil yang merupakan seorang ronggeng sebagai tokoh utamanya. Film dibuka melalui adegan terguncangnya Dukuh Paruk dengan keracunan massal tempe bongkrek yang menewaskan banyak warganya. Peristiwa tersebut juga menewaskan ronggeng dari Dukuh Paruk dan sejak saat itu belum ada perempuan dari Dukuh Paruk yang kembali menjadi ronggeng.
Alur cerita kemudian maju beberapa tahun kemudian, ketika Srintil (Prisia Nasution), anak gadis penjual tempe bongkrek, telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Srintil yang sejak kematian orang tuanya diasuh oleh kakeknya Sakarya (Landung Simatupang), meyakini bahwa takdirnya adalah menjadi ronggeng. Sayangnya keinginan tersebut tidak akan terwujud jika dukun ronggeng, Kertareja (Slamet Raharjo), tidak melihat adanya pertanda dari leluhur bahwa Srintil ditakdirkan menjadi Ronggeng. Namun dengan bantuan teman masa kecilnya, Rasus (Oka Antara), Srintil akhirnya berhasil disetujui jadi ronggeng. Kertareja dan istrinya, kemudian “memoles” Srintil hingga menjadi ronggeng yang termahsyur. Kesenian ronggeng di Dukuh Paruk menjadi hidup kembali.
“Jadi ronggeng tidak hanya perkara urusan nari, tetapi juga urusan kasur, urusan dapur, dan urusan sumur"
Demikian kutipan pesan dari Nyai Kertareja kepada Srintil. Menjadi ronggeng memang bukan sekedar menari, tetapi ronggeng juga memiliki tugas dan posisi sakral bagi masyarakat setempat, diantaranya melayani seks pria yang mampu membayarnya mahal. Namun tidak seperti halnya pelacur rendahan, tugas ini justru dianggap terhormat, dan bahkan semua orang berlomba-lomba agar dapat bersama Srintil dalam tradisi “buka kelambu” tersebut.
Kemahsyuran Srintil di sisi lain membuatnya harus mengorbankan cintanya kepada Rasus, teman masa kecil yang ia cintai dan juga mencintainya.“Aku tidak rela melihat kamu seperti pohon kelapa, yang bisa dipanjat oleh siapa saja” ucap Rasus dalam bahasa Jawa Banyumas yang kental. Namun tekad Srintil untuk menjadi ronggeng tak tergoyahkan. Rasus kemudian memilih keluar dari Dukuh Paruk dan menjadi anggota TNI.
“Kamu dan aku sekarang sudah beda, Srin…….” Ujar Rasus menegaskan perbedaannya dengan Srintil sekaligus menoreh kesedihan di hati keduanya.
Sepeninggal Rasus, Dukuh Paruk disusupi oleh ideologi dari PKI. Ketidakmengertian warga Dukuh Paruk membuat mereka tidak menyadari betapa berbahayanya keterlibatan mereka dengan PKI. Hingga satu hari, Dukuh Paruk yang dianggap sudah “merah” oleh pemerintah, akhirnya digerebek oleh TNI. Warganya ditangkap dan dibantai karena paham komunis yang bahkan tidak mereka mengerti. Sebuah penangkapan yang membuat Rasus harus berjuang untuk kembali menemukan Srintil.
Menurut saya film ini sangat menarik dan baik untuk di konsumsi masyarakatIndonesia , khususnya generasi muda yang mungkin tidak banyak mengenal sastra lama negerinya yang sesungguhnya kaya. Selain itu film ini juga memotret situasi Indonesia pada tahun 60-an dengan dengan segala problematikanya, propaganda politik, kebodohan masyarakat, pembantaian massal, serta tradisi lokalnya. Visualisasi yang disuguhkan terasa tepat dan tidak berlebihan. Pemilihan pemeran juga pas dengan pengkhayatan yang bisa dikatakan sukses, khususnya dialog-dilaog yang disuguhkan dengan bahasa daerah dan dapat diucapkan dengan baik dan wajar oleh para aktor. Sayangnya, saya sendiri belum membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang menjadi inspirasi dari film ini sehingga saya belum mempunyai kapasitas yang cukup untuk membandingkan keduanya.
Menurut saya film ini sangat menarik dan baik untuk di konsumsi masyarakat
Lihat cuplikan "Sang Penari"
akhirnya gw menonton film ini menjelang hari-hari akhir penayangannya di bioskop dekat kampus. tapi ending filmnya agak gimana gitu ya?
ReplyDeleteiya ya, gue juga gak suka endingnya. adegan yang tidak perlu (Srintil joged di sepanjang jalan itu)
ReplyDelete