Lama ngga ngeblog dan tiba-tiba gue pengen memberi nuansa
baru pada blog gue yang ‘tumbuh-kembang’-nya rada lambat ini. Gue pengen aja
gitu nulis ide, perasaan, dan pemikiran gue dengan cara yang lebih kasual dan
personal. Lebih talkative kali yah kalau boleh diistilahkan. Jadi mungkin gue
akan mengambil tema yang lebih random—apa aja yang melintas dipikiran
gue—walaupun itu gak jelas penting atau nggak hehe. Kayak post gue kali ini.
Love, Wedding, Marrige.
Merasa familiar dengan judul ini? Wajarlah ya, secara gue
emang copas judul ini dari filmnya Mandy Moore yang gue tonton gak sengaja di
TV kabel hehehe (gue paling gak bisa ngasih judul emang).
Memasuki usia twenty something, gue rasa makin banyak aja
orang di sekitar gue yang mulai mikirin soal abis lulus mau ngapain. Yaa
mungkin emang udah masanya kali yah mengingat INSYAALLAH kuliah bakal segera kelar
(AMIN YA ALLAH). Apa sih rencana lo setelah itu? Lanjut S2, kerja, atau nikah?
Gue rasa itu tiga jawaban yang paling sering keluar. Dan buat hal yang ketiga,
banyak banget—cewek khususnya—yang udah mulai galau mikirinnya hehehe. Tiap dateng ke acara kawinan langsung gundah gulana, atau minamal ngayal ngerencanain nikahan lo nanti bakal gimana hehehe. Ada yang galaunya
terang-terangan, ada juga yang sok lempeng kayak gue dengan jawab, “S2 dulu
kali,” hehehe tapi sih padahal dalemnya kepikiran juga :p
Kenapa sih soal nikah ini sepertinya penting banget jadi
pikiran cewek seumuran gue? Gue bakal coba memaparkan alasan yang gue dapet,
entah dari hasil mikir-mikir sendiri ataupun sharing sama beberapa temen. Pertama, buat sebagian orang, hidup itu semacam punya ‘stage’nya sendiri, kayak
TK-SD-SMP-SMA-Kuliah-Kerja-Nikah-Punya Anak-Ngebesarin Anak-Punya Cucu-Tua-Mati. So, pernikahan sendiri adalah satu bagian dari tingkatan itu.
Makanya begitu beres kuliah, otomatis lo akan nentuin mau nikah atau kerja. Dan
kalau salah satunya belum tercapai maka lo bakal kelabakan. Kenapa? Karena para penganut alasan pertama ini
kalau belum mencapai jenjang kehidupan berikutnya bakal ngerasa hidupnya incompelete, kayak gak naik kelas kira-kira
rasanya.
Alasan
kedua—yang menurut gue nyebelin—adalah tuntutan sosial. Berhubung kita ini
tinggal di negara yang mayoritas penduduknya super
kepo-resek-dan-hobi-ikut-campur-urusan-orang, seringkali hal-hal yang
sebenarnya merupakan ranah pribadi seperti pernikahan, pada akhirnya menjadi
urusan orang banyak alias menjadi tuntutan sosial. Tuntutan ini diwujudkan
melalui pertanyaan “kapan nikah?” atau “siapa calonnya?” yang diajukan dalam
berbagai kesempatan. Yang mana jika lo tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan realisasi (baca: nikah beneran) maka lo akan mendapat sanksi
sosial berupa pandangan/sindiran/candaan soal label “perawan tua” atau “nggak
laku” yang seolah ditempelin di jidat lo. Oh, shit. Jelas aja pada galau,
siapa juga yang mau dianggap kayak gitu.
Alasan berikutnya
yang lebih konservatif—tapi sedikit banyak gue setuju—adalah alasan religius
seperti ajaran agama, menghindari zinah dan semacamnya. Mungkin karena gue
sendiri adalah muslim yang memang diajarkan bahwa seks pra-nikah itu dosa kali
yah, makanya sedikit banyak gue setuju atau setidaknya gue memahami orang-orang
yang menikah dengan alasan ini. Walaupun kalau dipikir-pikir,
nikah-supaya-nggak-zinah ini agak berkesan “Oh yaudah, gue menikah untuk
melegalisasi aktivitas seksual / kebutuhan biologis gue sama pasangan gue” tapi
ya menurut gue mendinglah, daripada lo ngaku Islam, solat jalan, puasa iya,
lebaran ikutan, tapi ml dimana-mana juga. Yaudah sok atuh mending nikah aja yah
hehehe :D
Di sisi lain, pernikahan sama sekali bukan hal yang mudah.
Sebutlah gue ini sotoy karena gue sendiri belum pernah nikah dan bahkan gue
lagi gak menjalin hubungan serius dengan siapapun saat ini (sok panjang,
padahal intinya jomblo). But believe me, I’ve read a lot. Selain itu gue juga
cukup banyak mendengar curhatan orang soal percintaan, bahkan orang yang udah
nikah pun curhatnya ke gue! *stress*
Di antara semua alasan, sebaik-baiknya alasan untuk
seseorang menikah (menurut gue) dan gue harap akan menjadi alasan ketika gue
memutuskan untuk menikah suatu hari nanti adalah keyakinan (translation:
faith). Keyakinan yang gue maksud disini adalah ketika cinta bertemu dengan
kesiapan. Kenapa cinta dan kesiapan gue rangkum dalam istilah keyakinan? Karena
menurut gue cinta adalah keyakinan atas perasaan lo sendiri (internal) dan
kesiapan adalah keyakinan lo atas kemampuan lo dan pasangan untuk bisa memenuhi
‘syarat-syarat’ eksternal seperti persetujuan keluarga, kemampuan finansial,
dll. Kalau lo udah punya keyakinan itu, gue rasa lo udah punya alasan yang
logis untuk menikah.
Btw, salah satu alasan gue gatel ngepost topik ini juga
karena salah satu ketakutan terbesar gue dalam hidup ini selain kecoak, jatuh
miskin, dan masuk neraka adalah, gue takut banget hidup dalam unhappy marriage
life and I don’t wanna get divorce in my whole life. Ini serius lho. Gue amat
sangat takut salah memilih orang untuk dinikahi dan gue takut merasa tidak
bahagia dalam pernikahan gue dan gue nggak pengen bercerai. Deep inside of me
gue ini tipikal perempuan menikah banget, walaupun kemampuan gue akan pekerjaan
domestik bisa dibilang nol besar hehehe. Hal ini berkaitan sama alasan
pernikahan yang lain (lagi-lagi menurut gue loh ya), soalnya manusia itu takut
kesepian dan takut sama kesendirian. Seenjoy-enjoynya lo sama kehidupan lo gue
yakin lo akan sampai pada titik lo ngerasa butuh untuk ‘pulang’. Dan ‘pulang’
disini gak mengacu kepada suatu tempat, tapi ke sebuah perasaan. Lo butuh
orang-orang yang bisa lo sebut keluarga, dan pernikahan adalah sarana buat lo
mewujudkan keluarga itu (selama living together alias kumpul kebo masih
didaulat sebagai zinah ya hehehe). Bayangin kalau lo menghabiskan sisa hidup lo
sama orang yang salah dan bikin lo ga pernah ngerasa ‘pulang’. Itu ketakutan
terbesar gue. And yeah, eventhough I always feel like a bittersweet bitch, I
believe in true love.
Eeeehhh tapi, gue tidak mendiskreditkan orang-orang yang
memilih melajang atau bercerai lho. Karena menurut gue dalam setiap pilihan
yang diambil seseorang terdapat keberanian di dalamnya, dan pastinya didasari
oleh experience pribadi yang akhirnya membentuk keputusan soal pilihan itu.
Jadi selama orang itu happy sama pilihannya menurut gue sah-sah aja :D
Eh yaudah deh daripada makin ngelantur ya, gue kan Cuma sharing
pemikiran gue doang. Tulisan ini gue tulis di usia gue yang ke-21 tahun 5 bulan
12 hari, and maybe it sounds naïve. Bodolah yaa, namanya juga anak muda. Bulan
depan juga bisa berubah hehe.
Thanks for reading anyway.
No comments:
Post a Comment