Saya masih ingat ketika malam itu kita berbincang di kedai
bubur yang biasa. Kamu menyesap teh panas tanpa gulamu, dan saya menceritakan
kisah saya dengan intonasi campur aduk. Api kemarahan yang meletup kemudian
bergantian dengan desah putus asa. Ada
air mata yang tertahan untuk jatuh. Bukan karena saya tak ingin menumpahkannya,
tetapi karena saya terlalu frustasi untuk sekedar menangis.
Kamu mendengarkan
dengan sabar, kamu bilang kamu mengerti. Kamu mencoba menganalisa cerita saya tentangnya
sambil membandingkannya dengan kisahmu sendiri.
“Ada atau
tidak ada dia, apa bedanya untuk kamu? Jalan Margonda akan tetap ramai,”
ungkapmu asal—atau tidak. Namun cukup untuk membuat saya tertegun pada saat
itu. Merasa tertampar. Memandang kosong ke seberang jalan Margonda dari tempat
duduk saya di kedai bubur itu. Menyaksikan lalu lintasnya yang ramai,
seperti katamu. Bahkan setelah dia melukai hati saya. Bahkan ketika saya sudah
mengeluarkannya dari dalam hidup saya.
Saya menemukan
kebenaran dalam ujaranmu. Beberapa bulan yang lalu.
Ketika kita
masih terhubung. Ketika kamu dan saya masih duduk berhadapan di meja di kedai
bubur yang biasa. Untuk sekedar menggunjingkan orang-orang yang kita kenal,
atau yang hanya sekedar lewat. Atau yang lebih serius—membagi ide dan rencana
hingga larut.
Ketika itu
saya tidak bisa membayangkan kita berada dalam situasi seperti hari ini.
Seperti bagaimana
kamu tidak lagi memandang saya dengan senyum kekanakanmu yang biasa. Seperti
bagaimana kamu tidak lagi mengajak saya makan pagi atau mengantar saya pulang
sampai gerbang. Seperti bagaimana kini saya dan kamu masih mengunjungi kedai
bubur yang biasa tapi tak pernah lagi bersama-sama.
Ada atau tidak ada dia, apa bedanya untuk kamu?
Jalan Margonda akan tetap ramai.
Yang saya
tidak pernah bilang, ada luka tak tertanggungkan ketika ia tak ada. Ada sesak
tak terlukiskan ketika saya tahu ia bersama orang selain saya. Ada doa yang
tidak terhenti—berharap ia berubah dan kembali lagi kepada saya seperti saat
ini.
Dan kamu
marah untuk kebahagiaan yang saya miliki bersamanya. Kebahagiaan yang mungkin
salah. Kebahagiaan yang menurut kamu gila. Kebahagiaan yang saya harap tidak
berakhir.
Saya tidak berharap kamu mengerti.
terasa getirnya.. suka sekali dengan setiap rangkaian kata :)
ReplyDeleteMakasih mar hehehe :)
ReplyDelete