Tuesday, 5 March 2013

Things I Never Said


Saya masih ingat ketika malam itu kita berbincang di kedai bubur yang biasa. Kamu menyesap teh panas tanpa gulamu, dan saya menceritakan kisah saya dengan intonasi campur aduk. Api kemarahan yang meletup kemudian bergantian dengan desah putus asa. Ada air mata yang tertahan untuk jatuh. Bukan karena saya tak ingin menumpahkannya, tetapi karena saya terlalu frustasi untuk sekedar menangis.

Kamu mendengarkan dengan sabar, kamu bilang kamu mengerti. Kamu mencoba menganalisa cerita saya tentangnya sambil membandingkannya dengan kisahmu sendiri.

“Ada atau tidak ada dia, apa bedanya untuk kamu? Jalan Margonda akan tetap ramai,” ungkapmu asal—atau tidak. Namun cukup untuk membuat saya tertegun pada saat itu. Merasa tertampar. Memandang kosong ke seberang jalan Margonda dari tempat duduk saya di kedai bubur itu. Menyaksikan lalu lintasnya yang ramai, seperti katamu. Bahkan setelah dia melukai hati saya. Bahkan ketika saya sudah mengeluarkannya dari dalam hidup saya.

Saya menemukan kebenaran dalam ujaranmu. Beberapa bulan yang lalu.

Ketika kita masih terhubung. Ketika kamu dan saya masih duduk berhadapan di meja di kedai bubur yang biasa. Untuk sekedar menggunjingkan orang-orang yang kita kenal, atau yang hanya sekedar lewat. Atau yang lebih serius—membagi ide dan rencana hingga larut.

Ketika itu saya tidak bisa membayangkan kita berada dalam situasi seperti hari ini.

Seperti bagaimana kamu tidak lagi memandang saya dengan senyum kekanakanmu yang biasa. Seperti bagaimana kamu tidak lagi mengajak saya makan pagi atau mengantar saya pulang sampai gerbang. Seperti bagaimana kini saya dan kamu masih mengunjungi kedai bubur yang biasa tapi tak pernah lagi bersama-sama.

Ada atau tidak ada dia, apa bedanya untuk kamu? Jalan Margonda akan tetap ramai.

Yang saya tidak pernah bilang, ada luka tak tertanggungkan ketika ia tak ada. Ada sesak tak terlukiskan ketika saya tahu ia bersama orang selain saya. Ada doa yang tidak terhenti—berharap ia berubah dan kembali lagi kepada saya seperti saat ini.

Dan kamu marah untuk kebahagiaan yang saya miliki bersamanya. Kebahagiaan yang mungkin salah. Kebahagiaan yang menurut kamu gila. Kebahagiaan yang saya harap tidak berakhir.

Saya tidak berharap kamu mengerti.

2 comments: