Friday, 27 April 2012

Goyang Penasaran


Malam itu para calon penonton sudah memadati area depan pintu masuk Teater Salihara. Tak sabar menunggu mulainya pertunjukan teater bartajuk “Goyang Penasaran” yang akan dibawakan oleh Teater Garasi. Masih dalam rangkaian Agenda bulan April yang mengangkat tema “Forum Seniman Perempuan Salihara: Menjunjung Bunda Bumi”, pertunjukan teater Goyang Penasaran dihadirkan sebagai buah karya dari kolaborasi dua perempuan yakni Intan Paramaditha (naskah) dan Naomi Srikandi (naskah dan sutradara). Goyang Penasaran yang pada Desember 2011 lalu pernah ditampilkan oleh Teater Garasi di Jogjakarta, kini kembali dipertunjukan di Jakarta (Salihara, 19-20 April 2012) sebagai salah satu usaha untuk memberikan tontonan seni yang tidak sekedar menghibur tetapi juga menyentil para penontonnya tentang potret kehidupan masyarakat pinggiran, isu-isu mengenai tubuh, seksualitas, gender, agama, dan kekerasan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Goyang Penasaran mengisahkan tentang Salimah, seorang biduan dangdut di daerah pinggiran yang termahsyur karena kemolekan dan keluwesannya dalam bergoyang. Salimah adalah kembang desa yang dipuja oleh setiap lelaki. Namun titel kembang desa tentu saja menjadi bumerang bagi Salimah, di satu sisi ia digilai penggemarnya dan di sisi lain, ia kerap kali dijadikan objek pelecehan, fantasi mesum, dan bahkan hujatan dari tokoh agama di kampung tempatnya tinggal.

Dari semua lelaki yang memujanya, tersebutlah Solihin, seorang calon lurah muda yang memiliki segalanya namun selalu ditolak oleh Salimah. Tak peduli seberapa besar hasrat Solihin dan segala materi yang mampu dijanjikannya, Salimah selalu mengabaikannya. Satu-satunya lelaki yang diinginkan Salimah adalah Haji Ahmad, guru mengajinya semasa belia yang kini menjadi orang yang mati-matian menghujatnya. Di sinilah kompleksitas cinta sorang biduan kampung dimulai.

Setelah satu peristiwa pengusiran yang dilakukan oleh Haji Ahmad dan para pendukungnya terhadap Salimah dan orkes dangdutnya, Salimah memutuskan untuk pergi dari kampung dan menghilang selama dua tahun. Kemudian alur cerita dimajukan menjadi dua tahun  kemudian, dimana Salimah telah kembali ke kampung halamannya sebagai sosok yang berbeda dan menimbulkan kegemparan bagi para warga kampung.

Kisah ini diangkat dari sebuah cerpen karya sang penulis naskah, Intan Paramaditha dengan judul sama yang terdapat dalam kumpulan cerpen berjudul Budak Setan. Bagi saya pribadi, menonton goyang penasaran berhasil mengajak saya memahami gambaran kehidupan di daerah pinggiran pada era 90-an dan gambaran mengenai posisi perempuan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Budaya patriarki yang sedemikian mendarah daging secara sadar atau tidak telah menempatkan perempuan di posisi yang ‘dirugikan’. Seperti halnya Salimah, sudah dieksploitasi tubuhnya, dijadikan objek fantasi seks, namun juga dihujat. Ketika Salimah kembali ke kampung halaman dengan penampilan berbeda (dan dianggap buruk), maka gunjingan tentangnya bergulir dari orang-orang yang dulu memujanya. Betapa penilaian yang diberikan kepada Salimah hanya sebatas penampilan fisiknya. Rendahnya posisi Salimah di mata para lelaki dalam kisah ini juga ditampilkan lewat sikap Solihin yang selalu membujuk Salimah dengan materi hingga terkesan bahwa harga diri seorang perempuan bisa dibeli oleh harta benda. Atau pada adegan lain dimana Haji Ahmad, guru ngaji yang dicintai Salimah, sebenarnya juga sama tertariknya hingga seringkali mencuri pandang terhadap Salimah. Namun karena posisinya sebagai seorang tokoh agama di kampung yang selalu menyiarkan ajaran Islam untuk menghindari zinah dan hawa nafsu maka di depan masyarakat ia selalu melaknat Salimah yang dianggap sebagai perempuan pemancing syahwat laki-laki. Haji Ahmad selalu ingin dianggap suci, hingga tak mengakui bahwa hawa nafsu adalah bagian dari diri manusia, tak terkecuali bagi seorang tokoh agama seperti dirinya.

Kendati mengangkat berbagai isu sensitif, namun Goyang Penasaran dihadirkan dalam kemasan yang ringan dan menarik. Saya katakan ringan karena Goyang Penasaran mudah dipahami oleh siapa saja yang menontonnya. Dialog-dialog sederhana dan lucu yang disampaikan oleh tokoh tukang ojek dan preman kampung menjadi sebuah cerminan realitas sekaligus humor yang berhasil membuat para penonton tergelak. Adegan dengan nuansa horor juga beberapa kali dihadirkan dan sukses membuat penonton—setidaknya saya—cukup merinding. Dekorasi panggung adalah salah satu bagian paling mengesankan dari pertunjukan ini karena dibuat mendekati kenyataan. Belum lagi para penonton tidak duduk di bangku namun hanya duduk dengan beralaskan karpet sehingga terasa sangat dekat dengan suasana panggung. Menariknya lagi, semua lakon dari teater ini diperankan oleh aktor laki-laki, termasuk juga pemeran Salimah sebagai tokoh utama. Ternyata Naomi Srikandi selaku sutradara memiliki alasan tersendiri untuk mengenai hal ini. Menurut Naomi, penempatan laki-laki sebagai Salimah merupakan otokritik cara pandang  terhadap perempuan. Selama ini, perempuan cantik dicitrakan memiliki tubuh yang indah dengan lekuk-lekuk yang mampu menggiurkan laki-laki.

"Dengan menempatkan laki-laki berperan sebagai Salimah, saya ingin penonton bisa memahami isi cerita dan pesan yang ingin disampaikan. Kalau saya memakai perempuan untuk peran Salimah, penonton hanya akan menikmati tubuh pemainnya bukan isi ceritanya," demikian penuturan Naomi yang saya kutip dari kompas.com (20/04/2012).

Bagi saya, Goyang Penasaran adalah sebuah alternatif media pembelajaran yang mampu membuat kita lebih peka terhadap isu-isu dalam masyarakat Indonesia, khususnya mengenai perempuan, namun dengan cara yang mengalir dan tidak membosankan. Bagi Anda yang belum sempat menonton, berharaplah Teater Garasi akan mempertunjukannya kembali suatu hari nanti.

ilustrasi foto diambil dari salihara.org

No comments:

Post a Comment