Malam itu para calon penonton sudah memadati area depan
pintu masuk Teater Salihara. Tak sabar menunggu mulainya pertunjukan teater
bartajuk “Goyang Penasaran” yang akan dibawakan oleh Teater Garasi. Masih dalam
rangkaian Agenda bulan April yang mengangkat tema “Forum Seniman Perempuan
Salihara: Menjunjung Bunda Bumi”, pertunjukan teater Goyang Penasaran
dihadirkan sebagai buah karya dari kolaborasi dua perempuan yakni Intan
Paramaditha (naskah) dan Naomi Srikandi (naskah dan sutradara). Goyang
Penasaran yang pada Desember 2011 lalu pernah ditampilkan oleh Teater Garasi di
Jogjakarta, kini kembali dipertunjukan di Jakarta (Salihara, 19-20 April 2012) sebagai
salah satu usaha untuk memberikan tontonan seni yang tidak sekedar menghibur
tetapi juga menyentil para penontonnya tentang potret kehidupan masyarakat
pinggiran, isu-isu mengenai tubuh, seksualitas, gender, agama, dan kekerasan di
Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Goyang Penasaran mengisahkan tentang Salimah, seorang biduan
dangdut di daerah pinggiran yang termahsyur karena kemolekan dan keluwesannya
dalam bergoyang. Salimah adalah kembang desa yang dipuja oleh setiap lelaki.
Namun titel kembang desa tentu saja menjadi bumerang bagi Salimah, di satu sisi
ia digilai penggemarnya dan di sisi lain, ia kerap kali dijadikan objek
pelecehan, fantasi mesum, dan bahkan hujatan dari tokoh agama di kampung
tempatnya tinggal.
Dari semua lelaki yang memujanya, tersebutlah Solihin,
seorang calon lurah muda yang memiliki segalanya namun selalu ditolak oleh
Salimah. Tak peduli seberapa besar hasrat Solihin dan segala materi yang mampu
dijanjikannya, Salimah selalu mengabaikannya. Satu-satunya lelaki yang
diinginkan Salimah adalah Haji Ahmad, guru mengajinya semasa belia yang kini
menjadi orang yang mati-matian menghujatnya. Di sinilah kompleksitas cinta sorang biduan kampung dimulai.
Setelah satu peristiwa pengusiran yang dilakukan oleh Haji
Ahmad dan para pendukungnya terhadap Salimah dan orkes dangdutnya, Salimah
memutuskan untuk pergi dari kampung dan menghilang selama dua tahun. Kemudian
alur cerita dimajukan menjadi dua tahun
kemudian, dimana Salimah telah kembali ke kampung halamannya sebagai
sosok yang berbeda dan menimbulkan kegemparan bagi para warga kampung.
Kisah ini diangkat dari sebuah cerpen karya sang penulis
naskah, Intan Paramaditha dengan judul sama yang terdapat dalam kumpulan cerpen
berjudul Budak Setan. Bagi saya pribadi, menonton goyang penasaran berhasil
mengajak saya memahami gambaran kehidupan di daerah pinggiran pada era 90-an
dan gambaran mengenai posisi perempuan di mata masyarakat Indonesia pada
umumnya. Budaya patriarki yang sedemikian mendarah daging secara sadar atau
tidak telah menempatkan perempuan di posisi yang ‘dirugikan’. Seperti halnya
Salimah, sudah dieksploitasi tubuhnya, dijadikan objek fantasi seks, namun juga
dihujat. Ketika Salimah kembali ke kampung halaman dengan penampilan berbeda
(dan dianggap buruk), maka gunjingan tentangnya bergulir dari orang-orang yang dulu
memujanya. Betapa penilaian yang diberikan kepada Salimah hanya sebatas
penampilan fisiknya. Rendahnya posisi Salimah di mata para lelaki dalam kisah
ini juga ditampilkan lewat sikap Solihin yang selalu membujuk Salimah dengan
materi hingga terkesan bahwa harga diri seorang perempuan bisa dibeli oleh
harta benda. Atau pada adegan lain dimana Haji Ahmad, guru ngaji yang dicintai
Salimah, sebenarnya juga sama tertariknya hingga seringkali mencuri pandang
terhadap Salimah. Namun karena posisinya sebagai seorang tokoh agama di kampung
yang selalu menyiarkan ajaran Islam untuk menghindari zinah dan hawa nafsu maka
di depan masyarakat ia selalu melaknat Salimah yang dianggap sebagai perempuan
pemancing syahwat laki-laki. Haji Ahmad selalu ingin dianggap suci, hingga tak
mengakui bahwa hawa nafsu adalah bagian dari diri manusia, tak terkecuali bagi
seorang tokoh agama seperti dirinya.
Kendati mengangkat berbagai isu sensitif, namun Goyang
Penasaran dihadirkan dalam kemasan yang ringan dan menarik. Saya katakan ringan
karena Goyang Penasaran mudah dipahami oleh siapa saja yang menontonnya. Dialog-dialog
sederhana dan lucu yang disampaikan oleh tokoh tukang ojek dan preman kampung
menjadi sebuah cerminan realitas sekaligus humor yang berhasil membuat para
penonton tergelak. Adegan dengan nuansa horor juga beberapa kali dihadirkan dan
sukses membuat penonton—setidaknya saya—cukup merinding. Dekorasi panggung
adalah salah satu bagian paling mengesankan dari pertunjukan ini karena dibuat
mendekati kenyataan. Belum lagi para penonton tidak duduk di bangku namun hanya
duduk dengan beralaskan karpet sehingga terasa sangat dekat dengan suasana
panggung. Menariknya lagi, semua lakon dari teater ini diperankan oleh aktor
laki-laki, termasuk juga pemeran Salimah sebagai tokoh utama. Ternyata Naomi
Srikandi selaku sutradara memiliki alasan tersendiri untuk mengenai hal ini. Menurut
Naomi, penempatan laki-laki sebagai Salimah merupakan otokritik cara
pandang terhadap perempuan. Selama ini,
perempuan cantik dicitrakan memiliki tubuh yang indah dengan lekuk-lekuk yang
mampu menggiurkan laki-laki.
"Dengan menempatkan laki-laki berperan sebagai Salimah,
saya ingin penonton bisa memahami isi cerita dan pesan yang ingin disampaikan.
Kalau saya memakai perempuan untuk peran Salimah, penonton hanya akan menikmati
tubuh pemainnya bukan isi ceritanya," demikian penuturan Naomi yang saya
kutip dari kompas.com (20/04/2012).
Bagi saya, Goyang Penasaran adalah sebuah alternatif media
pembelajaran yang mampu membuat kita lebih peka terhadap isu-isu dalam
masyarakat Indonesia ,
khususnya mengenai perempuan, namun dengan cara yang mengalir dan tidak
membosankan. Bagi Anda yang belum sempat menonton, berharaplah Teater Garasi
akan mempertunjukannya kembali suatu hari nanti.
ilustrasi foto diambil dari salihara.org
No comments:
Post a Comment